Pura-pura Mati Sambil Menahan Sakit, Marrero Selamat dari Pembantaian
Felipe Marrero terbangun dari tidurnya di tengah perawatan di rumah sakit Orlando. Masih tercium jelas bau mesiu sisa peluru yang dimuntahkan pemuda bernama Omar Mateen di kelab malam Pulse, hampir seminggu yang lalu.
Lelaki berusia 30 tahun itu adalah satu di antara 53 korban luka dalam pembantaian yang merenggut 49 nyawa, Minggu dinihari lalu.
Marrero mengalami empat luka tembak di punggung dan lengan kirinya.
"Saya masih mencium bau yang sama, aroma mesiu seperti yang saya rasakan saat berada di Pulse malam itu," kata Marrero dalam sebuah wawancara, Jumat (17/6/2016) di Orlando Regional Medical Center.
Marrero mengaku, dia baru berniat untuk pulang ketika penembakan terjadi pada pukul 2 dinihari.
Dia berada di dekat pintu depan saat itu, dan sangat dekat dengan posisi pelaku penembakan. "Jadi, saya tak bisa keluar dari pintu keluar satu-satunya di depan saya itu," ungkap dia.
Sesaat kemudian, dia menjatuhkan diri ke lantai. Kawannya, Luis Vielma, yang berdiri di sampingnya kala itu sudah tertembak dan tewas.
Dalam keadaan terdesak, Marrero mengangkat ujung sofa dekat tempatnya tersungkur, dan meletakkan kepalanya di bawah tempat duduk itu.
"Saya menutupi diri saya, dan terbaring di sana, mungkin lebih dari 30 menit, sambil berupaya tak membuat gerakan. Saya pura-pura mati," kata dia.
Setelah 30-40 menit berlalu, dia masih bisa mendengar suara orang-orang yang berseru dan berteriak.
Bahkan, dia berbaring di samping satu korban tewas dengan kondisi kepala pecah. "Jasad di mana-mana, termasuk jasad kawan saya, Luis," ungkap dia.
"Dan, bau di di dalam kelab itu sangat menyeramkan, seperti bau bubuk mesiu. Saya dapat merasakan kematian sudah ada di depan mata saya," ujar Marrero.
Marerro lalu bercerita, setelah desingan peluru dan suara jeritan korban, seketika suara tembakan berhenti. Di kejauhan dia bisa mendengar suara polisi telah tiba di tempat itu.
Terlihat cahaya senter milik polisi mulai memasuki ruang kelab itu. "Para petugas itu meminta orang-orang untuk tetap tiarap," sambung dia.
Mateen tiarap
Marrero mengatakan, Omar Mateen pun sempat terlihat tiarap agar tak terlihat polisi yang masuk. "Ternyata tembakan berhenti saat dia mengisi pelurunya," kata dia.
Pada kesempatan selanjutnya, Mateen lalu menembak Marrero, dan mengenai pinggang bawah dan lengan kirinya. Ada empat luka tembak.
"Saya tak bergerak dan hanya berbaring saja. Darah mengalir dari lengan saya yang hancur," kata dia.
"Rasa sakitnya luar biasa," sambung Marrero.
Ketika rentetan tembakan kembali terjadi, Marrero mendapat kesempatan untuk berkontak mata dengan petugas polisi di pintu depan. Dia memberi kode untuk meminta tolong.
"Polisi itu memberi kode agar saya merangkak ke arah dia. Saat itu pelaku penembakan sedang menghilang di bagian lain kelab," ungkap dia.
Namun, Marrero mengatakan kepada polisi dia tak dapat bergerak, karena luka tembak di pinggang.
"Polisi itu lalu bilang, kamu harus menemukan kekuatan mu sendiri untuk melakukan itu (merangkak)," kata dia.
Dia lalu menggunakan tangan kanannya, dan menyeret tubuh sambil berpegang pada jasad-jasad yang ada di sekitarnya.
Saat itulah, polisi dapat menarik dia dan menyelamatkan Marrero ke lokasi aman di dekat kelab. Setelah itu, bantuan paramedis pun tiba.
"Saya hanya berpikir saat itu, itulah akhirnya," sebut Marrero.
Dalam perawatan di rumah sakit, dia menyaksikan berita. Marrero baru menyadari bahwa Omar Mateen adalah pria yang duduk di sebelahnya dan memesan minuman.
Kini, Marrero mengaku sudah berada dalam fase pemulihan, setelah menjalani sejumlah operasi. Selanjutnya, dia akan terus melakukan terapi fisik untuk mengembalikan fungsi lengannya.
"Pada malam lain ketika saya tiba-tiba terbangun, saya masih mencium bau yang sama... bau mesiu," ucapnya lirih.
Lelaki berusia 30 tahun itu adalah satu di antara 53 korban luka dalam pembantaian yang merenggut 49 nyawa, Minggu dinihari lalu.
Marrero mengalami empat luka tembak di punggung dan lengan kirinya.
"Saya masih mencium bau yang sama, aroma mesiu seperti yang saya rasakan saat berada di Pulse malam itu," kata Marrero dalam sebuah wawancara, Jumat (17/6/2016) di Orlando Regional Medical Center.
Marrero mengaku, dia baru berniat untuk pulang ketika penembakan terjadi pada pukul 2 dinihari.
Dia berada di dekat pintu depan saat itu, dan sangat dekat dengan posisi pelaku penembakan. "Jadi, saya tak bisa keluar dari pintu keluar satu-satunya di depan saya itu," ungkap dia.
Sesaat kemudian, dia menjatuhkan diri ke lantai. Kawannya, Luis Vielma, yang berdiri di sampingnya kala itu sudah tertembak dan tewas.
Dalam keadaan terdesak, Marrero mengangkat ujung sofa dekat tempatnya tersungkur, dan meletakkan kepalanya di bawah tempat duduk itu.
"Saya menutupi diri saya, dan terbaring di sana, mungkin lebih dari 30 menit, sambil berupaya tak membuat gerakan. Saya pura-pura mati," kata dia.
Setelah 30-40 menit berlalu, dia masih bisa mendengar suara orang-orang yang berseru dan berteriak.
Bahkan, dia berbaring di samping satu korban tewas dengan kondisi kepala pecah. "Jasad di mana-mana, termasuk jasad kawan saya, Luis," ungkap dia.
"Dan, bau di di dalam kelab itu sangat menyeramkan, seperti bau bubuk mesiu. Saya dapat merasakan kematian sudah ada di depan mata saya," ujar Marrero.
Marerro lalu bercerita, setelah desingan peluru dan suara jeritan korban, seketika suara tembakan berhenti. Di kejauhan dia bisa mendengar suara polisi telah tiba di tempat itu.
Terlihat cahaya senter milik polisi mulai memasuki ruang kelab itu. "Para petugas itu meminta orang-orang untuk tetap tiarap," sambung dia.
Mateen tiarap
Marrero mengatakan, Omar Mateen pun sempat terlihat tiarap agar tak terlihat polisi yang masuk. "Ternyata tembakan berhenti saat dia mengisi pelurunya," kata dia.
Pada kesempatan selanjutnya, Mateen lalu menembak Marrero, dan mengenai pinggang bawah dan lengan kirinya. Ada empat luka tembak.
"Saya tak bergerak dan hanya berbaring saja. Darah mengalir dari lengan saya yang hancur," kata dia.
"Rasa sakitnya luar biasa," sambung Marrero.
Ketika rentetan tembakan kembali terjadi, Marrero mendapat kesempatan untuk berkontak mata dengan petugas polisi di pintu depan. Dia memberi kode untuk meminta tolong.
"Polisi itu memberi kode agar saya merangkak ke arah dia. Saat itu pelaku penembakan sedang menghilang di bagian lain kelab," ungkap dia.
Namun, Marrero mengatakan kepada polisi dia tak dapat bergerak, karena luka tembak di pinggang.
"Polisi itu lalu bilang, kamu harus menemukan kekuatan mu sendiri untuk melakukan itu (merangkak)," kata dia.
Dia lalu menggunakan tangan kanannya, dan menyeret tubuh sambil berpegang pada jasad-jasad yang ada di sekitarnya.
Saat itulah, polisi dapat menarik dia dan menyelamatkan Marrero ke lokasi aman di dekat kelab. Setelah itu, bantuan paramedis pun tiba.
"Saya hanya berpikir saat itu, itulah akhirnya," sebut Marrero.
Dalam perawatan di rumah sakit, dia menyaksikan berita. Marrero baru menyadari bahwa Omar Mateen adalah pria yang duduk di sebelahnya dan memesan minuman.
Kini, Marrero mengaku sudah berada dalam fase pemulihan, setelah menjalani sejumlah operasi. Selanjutnya, dia akan terus melakukan terapi fisik untuk mengembalikan fungsi lengannya.
"Pada malam lain ketika saya tiba-tiba terbangun, saya masih mencium bau yang sama... bau mesiu," ucapnya lirih.
Post a Comment for "Pura-pura Mati Sambil Menahan Sakit, Marrero Selamat dari Pembantaian"